Ousmane Dembélé dari PSG Terlambat Berkembang. Selama beberapa tahun terakhir, Ousmane Dembélé kerap dipandang sebagai talenta yang belum kunjung matang. Dibesarkan dari St.‑Étienne, dipoles di Rennes, dan bersinar sesaat di Borussia Dortmund, kepindahannya ke Barcelona pada 2017 seharga €135 juta sempat digadang‑gadangkan sebagai pengganti Neymar. Namun realitasnya berbeda. Cedera berkepanjangan dan reputasi kurang disiplin juga telah membuatnya sering absen dan performanya yang dianggap inkonsisten. BERITA LAINNYA
Kehidupan malam yang gila dan kebiasaan datang terlambat ke sesi latihan pun sempat mencoreng citranya, hingga nama Dembélé lebih sering dihubungkan dengan meme demi kurangnya komitmen. Robert Fernández, mantan direktur olahraga Barcelona, menekankan sang pemain “terlalu muda” saat tiba di Camp Nou dan kurang mendapat dukungan, membuat perkembangannya terhambat. Namun sejak pindah ke Paris Saint‑Germain (PSG) pada Agustus 2023, gambaran itu telah berubah.
Di bawah arahan pelatih Luis Enrique, Ousmane Dembélé mengalami “metamorfosis mental” yang telah mengubahnya dari bomber sporadis menjadi mesin gol terhitung dari awal musim 2025 bergulir. Ia kini menjadi top scorer Ligue 1 dan pemain paling menonjol di level Eropa tahun ini. Statistik memperlihatkan tren yang mencengangkan. Sejak 2025 dimulai, ia mencetak 15 gol dalam sembilan pertandingan, paling banyak dibandingkan dengan pemain manapun di lima liga top Eropa.
Jika dikalkulasi sejak Desember 2024, ia mengoleksi 18 gol di 11 laga. Puncak performanya terjadi saat di Liga Champions, di mana ia mencetak dua hat‑tricks dan dua brace dengan mencetak total 10 kali gol hanya dalam empat laga, namun torehan tersebut masih terpaut jauh dari Messi atau Ronaldo. Transformasi ini tak hanya soal statistik. Gayanya di lapangan menunjukkan kematangan dalam hal pressing, bekerja defensif dan bermain disiplin, ini sangat berbeda jauh dari versi lamanya.
Beberapa media juga menyoroti bahwa Dembélé kini jadi pelopor pressing PSG di laga-laga besar, sebut saja laga final Liga Champions melawan Inter Milan, di mana ia menyerang dari depan sebagai “pemain pertama yang melakukan pressing”. Luis Enrique sendiri mengakui perubahan itu hadir setelah sesi “serius” pada bulan Oktober, ketika ia sempat dicadangkan karena masalah disiplin.
Ia mulai diberi kepercayaan besar sebagai “false nine”, tren posisi yang memaksimalkan insting mencetak gol dan penempatan di kotak penalti. Intrinsicnya telah berubah, dengan latihan ekstra penempatan finishing dan analisis visual, langkah yang dilakukan Dembélé hanya dilakukan oleh elite top dunia. Kini dengan torehan 33 gol dan 15 assist dalam 49 laga di semua kompetisi, Dembélé adalah pilar utama bagi PSG dalam meraih treble Ligue 1, Piala Prancis, dan Liga Champions 2024‑25.
Bahkan Nasser al‑Khelaïfi menyatakan bahwa jika ia gagal memenangkan Ballon d’Or, maka itu adalah masalah Ballon d’Or, ini mengisyaratkan betapa besarnya pengakuan di lingkup global atas kebangkitannya. Kini Dembélé benar‑benar menjadi contoh “late bloomer” di sepak bola modern dan berhasil meraih performa puncak di usia hampir 28 tahun, setelah melalui fase cukup panjang.
Jalannya mungkin lambat, tetapi buahnya kini manis. Ia membuktikan bahwa talenta murni tak akan pernah hilang, yang berubah adalah mental, kesempatan dan tatanan taktis yang mendukung perkembangan optimal Kisahnya menjadi inspirasi bahwa jalur karier tak selalu lurus ke atas, karena disiplin, mindset, pelatih yang tepat, dan pergeseran peran juga bisa mengubah masa depan pemain.
Kesimpulan: Ousmane Dembélé dari PSG Terlambat Berkembang
Ousmane Dembélé kini bukan sekadar bomber tajam saja, namun ia kini adalah simbol kebangkitan personal di usia matang tepat waktu, dan menjadi pusat perhatian bukan karena hype kosong semata, tetapi karena hasil nyata yang kini menghiasi lembar sejarah PSG dan sepak bola Eropa.